Adab Mengutip Dalam Islam



Oleh : Abdurrahman

Di antara keberkahan ilmu dalam Islam adalah menyandarkan suatu pendapat (teori) kepada orang pertama yang mengeluarkan pendapat (teori) tersebut. Hal ini seperti disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam muqadimah kitab tafsirnya, beliau mengatakan :
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال الى قائليها والأحاديث الى مصنفيها فإن يقال : من بركة العلم أن يضاف القول الى قائله
Saya mensyaratkan dalam kitab ini agar menyandarkan setiap pendapat kepada orang yang mengungkapkannya dan menyandarkan hadits kepada penyusunnya, karena salah satu dari keberkahan ilmu adalah menyandarkan pendapat kepada orang yang mengungkapkannya. Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Qurthuby, Jami Li Ahkam Al-Quran, Juz I hlm. 27.
Maksud dari “Menyandarkan setiap pendapat kepada orang yang mengungkapkannya” adalah menyebutkan secara lugas bahwa suatu pendapat atau teori berasal dari orang pertama yang menyebutkan teori atau pendapat tersebut. Dalam hal ini juga terkandung larangan untuk mengaku-ngaku teori dan pendapat orang lain dengan berbagai sebab, misalnya mengakui pendapat orang lain adalah pendapatnya atau mengakui hasil temuan dari penelitian orang lain disebut sebagai miliknya.
Dalam ruang lingkup penulisan makalah maka “Menyandarkan setiap pendapat kepada orang yang mengungkapkannya”  berarti memberikan catatan kaki untuk setiap pendapat yang buka pendapat kita. Atau minimal menyebutkan bahwa perkataan dan pendapat ini adalah milik seseorang yang telah mengungkapkannya pertama kali. Ini berarti tidak boleh mengaku-ngaku bahwa pendapat ini adalah pendapatnya sendiri padahal bukan. Inilah tanggung jawab ilmiah dalam penulisan Islam, ia sangat menjunjung tinggi keilmiahan dan keaslian ide seseorang. Bahkan ia adalah salah satu dari keberkahan ilmu dalam Islam.
Selanjutnya, bagaimana sebenarnya adab atau etika mengutip dalam penulisan Islam? Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pengutipan dibolehkan, ia adalah sebagai penguat bagi hipotesa kita. Permasalahannya adalah jika pengutipan tersebut tidak menyebutkan sumber yang ia kutip. Maka adabmengutip dalam Islam adalah :
1.      Menyebutkan pemilik ide (teori) yang kita kutip
2.      Tidak mengklaim bahwa pendapat (teori) tersebut adalah milik kita
3.      Menyebutkan secara jujur ide-ide yang kita kutip untuk memperkuat hipotesa kita.
Ketiga adab ini haruslah dijunjung tinggi oleh umat Islam, terutama mereka yang berkutat di bidang penulisan dan karangan.
Sekilas adab dan etika ini mirip dengan konsep hak cipta dalam, secara umum memang demikian adanya bahwa dalam konsep hak cipta dikenal adanya hak moral, yaitu hak untuk menyebutkan sumber dan pemilik dari hak cipta tersebut. Dalam hal ini yaitu ketika kita mengutip pendapat orang lain hendaknya kita sebutkan pemilik dari pendapat (teori) tersebut.
Namun hak cipta adalah model hak kepemilikan yang muncul baru sekitar abad ke-19, sementara konsep keberkahan ilmu dalam Islam telah ada sejak abad ke-09. Ini berarti sepuluh abad lebih dulu Islam telah memberikan kaidah-kaidah pengutipan dalam sebuah karya ilmiah.
Inilah salah satu dari warisan Islam yang harus senantiasa kita lestarikan. Wallahu ‘alam.         

Bukan Penulis Biasa



Oleh : Abu Aisyah

Bukan Penulis Biasa. makhluk apaan tuh? Jangan kaget dulu, Bukan Penulis Biasa adalah makhluk luar biasa. Namanya juga tidak biasa, pasti dong dia punya kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh penulis lainnya. Yup.... Bukan Penulis Biasa adalah penulis dengan citarasa sempurna (makanan kalee...). Tapi emang bener, bukan penulis biasa berarti mereka yang menjadi penulis dengan kepribadian dan karakteristik berbeda dengan penulis lainnya. Apa aja tuh kelebihannya kayanya ideal banget deh..
Bukan Penulis Biasa adalah mereka yang menjadi penulis bukan cuman cari duit aja (jadi cari apa dong..... cari botol bekas..... ), pemulung kalee... bukanlah !!! terlalu hina jika hanya mencari keuntungan dunia (cie.....). Tapi benar ko BPB (tau khan.... Bukan Penulis Biasa) adalah mereka yang menulis karena Allah taala. Wah... mulia banget tuh... bener banget, BPB semulia para syuhada dan mereka yang berjuang di jalanNya.
Terus gimana biar bisa menjadi BPB? Gampang aja pasang niat yang benar dan tentukan tujuan dari sekarang terus istiqomah. Mudah? Mudah banget lah.....
Begini penjelasannya : Pasang niat yang benar maksudnya waktu pas kita lagi nulis atau sebelum menulis kita pikir dulu deh “Ngapain sih kita nulis?” niatnya apa? Karena riya? ih... jagan sampai deh. Karena ingin mendapatkan keuntungan? Jangan-jangan. Karena ingin terkenal? Janganlah dilakukan.  Niatkan semuanya karena Allah taala, maksudnya adalah jadikan aktifitas kita (menulis tentunya) untuk mendapatkan pahala dariNya, tentunya dengan menuliskan hal-hal yang diridhaiNya dan sejalan dengan syariahNya. Ini nih.... yang bikin beda dengan yang lainnya. Niat awalnya yang beda.... selanjutnya...... beda juga lah ya.... tapi kalau dapat keuntungan or jadi orang yang terkenal boleh aja ga boleh ditolak tuh rizki, cuman jangan merubah niat kita.
Yang kedua tentukan hanya satu tujuan kita? Apa hayoo..... Untuk mendapatkan RidhaNya dan bonus surgaNya. Mau? Kebangetan kalau gak mau, kalau surga udah nggak mau, susah diarepin. Oke deh... saya yakin semua kita pasti pengin masuk surga. Nah salah satu cara or jalannya adalah dengan menuliskan hal-hal yang berakaitan dengan syariahNya. Ya mirip-mirip dai githu deh.... atau Pendekar Pembela Kebenaran Penumpas Kejahatan.... eit... hiat.... gedubrak.
Udah paham khan apa itu BPB? Kalau belum ulang aja lagi bacanya atau explore deh blog ini... dijamin kamu bakalan nemuin jawabannya. 

Membuat Tulisan Yang Unik dan Memiliki Kekhasan



Oleh : Abdurrahman MBP


Membuat sebuah tulisan tidaklah hanya merangkai kata dan kalimat, ia adalah hasil dari interpretasi diri dalam melihat hakikat hidup insani. Karena sifatnya yang personal maka tulisan yang dihasilkan benar-benar berasal dar interpretasi diri sehingga ia memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Di sinilah kekuatan dari sebuah tulisan, ia kan berbeda dengan yang lainnya walaupun tema yang dibahasnya sama.
Keunikan sebuah tulisan tidak hanya ditentukan oleh interpretasi penulis, ia dapat disetting sesuai dengan pengetahuan dari penulis. Walaupun hal ini sulit dilakukan terutama bagi para penulis pemula. Setting interpretasi diri adalah rekayasa pemahaman terhadap suatu permasalahan. Ia diperlukan ketika menulis tentang suatu tema yang telah banyak ditulis oleh penulis lainnya dalam bahasa penulis ini disebut dengan angle tulisan.
Walaupun dapat disetting namun tulisan dengan interpretasi pribadi akan memiliki nilai lebih dalam keunikan dan kekhasannya. Misalnya permasalahan ikhlas, sudah sangat banya buku-buku yang membahas tentang ikhlas, namun jika kita tulis sesuai dengan pengalaman pribadi kita tentu ia akan berbeda dengan tulisan-tulisan lainnya.
Keunikan suatu tulisan juga dapat diciptakan dengan meramu beberapa permasalahan yang telah ada, misalnya masalah shalat jika hanya dengan judul “Pedoman Shalat lengkap” maka tidak ada nilai lebih dari tulisan tersebut. Namun jika merubahnya misalnya judulnya diganti dengan “Panduan Shalat Secepat Kilat” tentu orang akan tertarik dan berfikir ada yang baru dalam buku tersebut. Tentunya pemilihan judul di sini harus dibarengai dengan pola pendekatan penulisan yang khas dan berbeda dengan yang lainnya.
Kekhasan tulisan seseorang akan mempengaruhi nilai tulisan sekaligus prestise baginya, hal ini karena setiap hasil karyanya merupakan hasil original dari dirinya sendiri. Sehingga semakin banyak penulis memiliki kekhasan maka akan semakin bervariasilah dunia penulisan kita. Maka kreatifitas penulis adalah sebuah keniscayaan.  

Spiritual Writing Mapping



Oleh : Abu Aisyah

  
Sulit mencari ide tulisan? Bingung mau menulis apa? Kesulitan mencari tema? Semua permasalahan tersebut sering kali menghinggapi para penulis, terutama  para penulis pemula yang sering kebingungan ketika akan membuat sebuah tulisan. Semua permasalahan tersebut akan dapat diatasi ketika kita dapat memetakan tema-tema besar dalam dunia penulisan.
Sebagai penulis bersyariah kita tentu akan menulis semua hal yang berkaitan dengan Islam. Hal ini bukan berarti kita hanya menulis masalah agama saja, ini salah besar. Kenapa? Penulis bersyariah adalah penulis yang mendedikasikan tulisan-tulisannya untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Ia juga memiliki pemahaman bahwa tidak ada dikotomi dalam Islam, sehingga penulis bersyariah tidak membatasi diri hanya menuliskan masalah-masalah agama saja. Penamaan “masalah agama” dalam ruang lingkup penulisan juga ciri dari dikotomi ilmu dan sikap sekilersime. Dalam Islam tidak memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, keduanya terintegrasi dalam bingkai syariat Ilahi.
Berdasarkan pemahaman ini kita dapat memetakan tema-tema utama dalam dunia penulisan agar memudahkan dalam menentukan tema. Tema besar dalam penulisan terbagi menjadi dua tema utama yaitu Ilmu-ilmu Kauniyyah dan Ilmu-ilmu Qauliyyah.
  1. Tema utama yang pertama yaitu Ilmu-ilmu Kauniyyah, ia adalah tema yang membahas tentang semua hal yang berkaitan dengan ciptaan Allah ta’ala yang ada di alam semesta ini. Ia meliputi berbagai sub tema yang menjadi displin ilmu yang terus berkembang. Di antara sub tema dalam ruang lingkup ini adalah ilmu-ilmu alam : biologi, fisika, kimia, geologi, astronomi, arkeologi, geografi, anthropologi, sosiologi,
  2. Tema kedua yaitu Ilmu-ilmu Qauliyyah : ini adalah tema besar yang memiliki beberapa sub tema yaitu : Aqidah, Ibadah dan Muamalah. Dari sub tema ini terbagi menjadi begitu banyak cabang yang dapat dijadikan sumber tulisan. Misalnya di bidang aqidah kita dapat menuliskan tema tentang : Iman, Islam dan Ikhsan. Di bidang ibadah kita dapat menuliskan tentang Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan haji. Di bidang muamalah sub-sub tema berikutnya meliputi transaksi-transaksi dalam Islam, Perbankan Islam, Pegadaian, Asuransi, transaksi-transaksi modern, fiqh muamalah, jual beli, sewa menyewa, tenaga kerja dan yang lainnya.    Masih dalam ruang lingkup ilmu-ilmu Qauliyyah terdapat juga sub tema tentang ilmu-ilmu diniyyah yang meliputi ilmu-ilmu alat semisal nahwu dan shorof, balagah, ta’bir, khot, mushthalah al-hadits, bahasa Arab, ulumul hadits, ulumul qur’an dan yang lainnya. Selanjutnya ilmu-ilmu diniyyah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sub tema yaitu : Pendidikan Islam, Ushuluddin dan Syariah.
Perlu dicatat bahwa pemetaan ini adalah untuk memudahkan bagi para penulis dalam menggali ide dan gagasan dalam tulisannya. Sehingga bukan suatu pembagian yang baku. Pemetaan ini dan segementasi pembaca dijadikan acuan ketika akan menulis, dengan harapan apa yang kita tuliskan dapat diterima oleh sasaran pembaca kita.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, karena seluruh ilnmu itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alah ta’ala serta beribadah kepadaNya. Karena itu pemetaan yang dilakukan di sini hanya untuk memudahkan dalam penggalian ide.   

Apa Yang Kita Wariskan?



Oleh Abu Aisyah


Kala raga mulai renta
Kala masa memakan usia
Ketika uban kian merata
Ketika kulit bertambah keriputnya
Tak ada yang bisa kita pertahankan
Hanya bekal yang harus kita sediakan
Perbekalan yang terus abadi
Hingga sampai ke hadapan Ilahi

Puisi di atas adalah gambaran bagaimana ternyata usia kita terus bertambah, tak ada satu makhlukpun yang mampu menahannya. Semuanya berjalan seolah tanpa rasa, hingga mengantarkan kita ke usia yang tidak lagi muda. Tua adalah takdirNya, manula adalah sunnahNya dan renta adalah kepastianNya. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain mempersiapkan perbekalan, namun juga bukan sembarang perbekalan. Sebuah perbekalan yang kita harapkan adalah perbekalan yang tidak pernah habis menemani kita atau perbekalan yang selalu berada di samping kita hingga hari kiamat tiba. Adakah perbekalan seperti ini?
Amal jariah adalah salah satunya, ketika manusia telah kembali keharibaanNya semua amal ibadahnya telah tiada. Tak ada lagi amal yang dapat memberikan manfaat kepadanya kecuali tiga amalan yang senantiasa berasamanya. Ketiga amalan tersebut adalah Shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat untuk orang lain dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.
Ketiga amal ibadah tersebut senantiasa memberikan manfaatnya walaupun seseorang telah tiada. Ketika semua amalan tidak lagi dapat dilaksanakan, maka ketiga amalan tersebut akan terus mengalir memberikan pahala tanpa batas masa.
Inilah warisan sebenarnya, ia menjadi warisan yang terus bermanfaat bagi umat manusia. Warisan yang akan terus memberikan kebaikan kepada pemiliknya hingga di akhirat sana.
Tulisan adalah salah satu dari amal ibadah yang terus mengalir pahalanya, walaupun penulisnya telah tiada. Tulisan-tulisan yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran adalah satu dari tiga amalan yang senantiasa menemani kita hingga menghadap Sang Pencipta. Maka tidakkah kita ingin meninggalkan warisan tersebut kepada anak cucu kita?
Tak ada alasan untuk menjawab tidak, setiap kita diberi kesempatan untuk menuliskan semua hal yang menjadi amalan sepanjang zaman. Bukankah kita diberikan panca inder untuk melihat dan meyaksikan kebesaranNya. Bukankah kita diberikan hati dan akal untuk memikirkan bagaimana Dia memberikan segalanya untuk kita? Maka tuliskanlah semua kenikmatanNya, agar ia semakin memberikan lebih banyak nikmatnya. Dan di alam sana ia akan menjadi amalan yang senantiasa bersama, memberikan pahala tanpa ada batasnya. Silahkan mencoba…. Wallohu A’lam.